GHIBAH
Oleh : s. luna syakira .s
Mahasiswi
Ekonomi Syari’ah Universitas Islam Indragiri
E-mail
: amuletartikel@gmail.com
Abstrak
Artikel ini berjudul tentang “ghibah” Artikel
ini membahas fenomena ghibah, praktik membicarakan orang lain secara negatif di
belakang mereka tanpa kehadiran mereka. Tujuan dari artikel ini adalah untuk
meningkatkan pemahaman tentang ghibah dan dampaknya terhadap individu dan
masyarakat. adapun masalah yang di bahas dalam artikel ini adalah tentang hukum
berghibah, hukum berghibah di dalam hati dan pahala bagi orang yang di ghibah.
Selain itu, artikel ini juga mengajak pembaca untuk memahami pentingnya
membangun kesadaran terhadap ghibah dan memilih untuk menghindarinya. Dalam
rangka menciptakan masyarakat yang lebih harmonis, diperlukan perubahan sikap
dan komitmen untuk menghargai privasi dan integritas orang lain.
Dengan memahami
ghibah secara lebih mendalam, diharapkan pembaca dapat memperkuat nilai-nilai
positif dalam komunikasi dan interaksi sosial, serta berperan dalam membentuk
lingkungan yang lebih baik bagi kita semua.
Pendahuluan
Ghibah,
sebuah kata yang sering kali membuat kita merasa tidak nyaman dan terkadang
bahkan dihindari. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa ghibah adalah salah satu
fenomena sosial yang sering terjadi di tengah masyarakat kita. Ghibah, dalam
bahasa sederhana, dapat diartikan sebagai membicarakan orang lain secara
negatif di belakang mereka tanpa kehadiran mereka.
Meskipun
ghibah sering kali dianggap sebagai sesuatu yang negatif, keberadaannya masih
tetap ada dan bahkan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari kita. Dalam
artikel ini, kita akan menggali lebih dalam tentang fenomena ghibah, mengapa
hal ini terjadi, dan dampaknya terhadap individu dan masyarakat.
Namun,
sebelum kita memahami lebih lanjut tentang ghibah, penting untuk menyadari
bahwa artikel ini bukan bertujuan untuk menghakimi atau mengajak orang lain
untuk melakukan ghibah. Sebaliknya, artikel ini hadir sebagai sarana untuk
meningkatkan pemahaman kita tentang fenomena sosial yang kompleks ini, sehingga
kita dapat menghadapinya dengan bijak dan membangun masyarakat yang lebih
harmonis.
Melalui
artikel ini, mari kita bersama-sama menjelajahi aspek-aspek penting tentang
ghibah, mulai dari definisi, alasan di balik praktik ini, hingga dampak
psikologis dan sosial yang mungkin timbul. Dengan pemahaman yang lebih baik
tentang ghibah, kita dapat membangun kesadaran dan memilih untuk
menghindarinya, serta merangkul nilai-nilai positif dalam komunikasi dan
interaksi sosial kita.
Pembahasan
1. Definisi
ghibah.
Ghibah telah didefinisikan langsung oleh Rasulullah shallalahu ‘alaihi
wa sallam dalam hadits yang dikeluarkan oleh Imam Muslim yang artinya yaitu,
“Engkau menyebutkan sesuatu yang ada pada saudaramu sedangkan dia tidak
menyukai hal itu diceritakan kepada orang lain.” Sehingga apapun bentuknya
menceritakan tentang orang lain adalah dilarang bila sesuatu tersebut tidak
disenangi olehnya, hal ini dikecualikan oleh para ulama di antaranya oleh
Syaikh Muhammad Ibnu Utsaimin dalam Syarah Riyadhus Shalihiin, beliau
berkata:“Ketahuilah bahwa ghibah diperbolehkan demi tujuan yang benar dan
syar’i yang tidak mungkin tercapai tujuan tersebut tanpa melakukan ghibah, dan
adapun ghibah yang diperbolehkan tersebut ada enam sebab:Pertama, seseorang
terzhalimi mengadukan kepada pihak yang berwenang dan dia mempunyai pengaruh
terhadap orang yang menzhalimi.Hal ini berdasarkan kisah Hindun binti ‘Utbah
istri dari Abu Sufyan yang datang kepada Nabi Muhammad shallalahu ‘alaihi wa
sallam mengatakan: bahwa suaminya adalah orang yang kikir atau pelit, dan dia
tidak memberi nafkah kepadaku dan anakku yang cukup, lalu beliau bersabda yang
artinya, “Ambillah dari hartanya yang cukup untuk menafkahi dirimu dan anakmu
tanpa berlebihan.” Dari cerita di atas Hindun mengatakan tentang suaminya bahwa
dia kikir kepada Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam karena Nabi shallalahu
‘alaihi wa sallam adalah pemimpin, dan ini ghibah. Seandainya hal ini dilarang
maka tentulah Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam sudah mengingkarinya. Kedua,
menjadikannya sebagai salah satu cara untuk mengubah sebuah kemungkaran,
sehingga tukang maksiat tersebut meninggalkan maksiatnya.Ketiga, meminta fatwa
dari seorang ‘alim (orang yang berilmu).Keempat, memperingatkan seluruh kaum
muslimin akan kejahatan seseorang, di antaranya, jarh (melukai) orang-orang
yang terjarh dari para perowi hadits (yang dimaksud adalah memberikan sifat
tidak adil pada orang yang meriwayatkan hadits yang dianggap berhak menerima
sifat tersebut sehingga haditsnya ditolak dan tidak diriwayatkan), Musyawarah
dalam pemilihan calon pengantin, ikut serta dalam perdagangan, menitipkan
harta, atau mu’amalah. Bila melihat seorang penuntut ilmu mondar-mandir kepada
seorang ahlul bid’ah, dan khawatir terjadi perubahan padanya. Pemimpin yang
tidak becus dalam kepemimpinannya.Kelima, orang yang dengan terang-terangan
melakukan sebuah kemaksiatan, seperti terang terangan minum bir. Keenam, dengan
tujuan mengenal dengan julukan tersebut seperti si pincang, si mata
picek/kabur, si bisu, dan lain-lain (dengan sedikit perubahan bahasa dari
penerjemah).”Adapun mengadu domba adalah merupakan bagian dari namimah yang
telah didefinisikan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih, “Namimah adalah seseorang
menukil (mengambil) perkataan manusia dari yang satu ke yang lainnya dengan
tujuan merusak hubungan mereka, dan ini termasuk dosa yang besar, dalam sebuah
hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhori dan Muslim juga telah disebutkan
orang yang sedang mendapatkan siksaan di alam kuburnya di antaranya adalah
karena dia sering menyebar luaskan fitnah antara manusia, yang mana
perbuatannya ini menyebabkannya berhak mendapatkan siksaan tersebut.”
Allah
SWT berfirman :
بِنَمِيم
مَشَّاءٍ هَمَّازٍ مَهِينٍ حَلَّافٍ كُلَّ
تُطِعْ وَلَا
“Dan janganlah kamu ikuti setiap orang
yang banyak bersumpah lagi hina. yang banyak mencela, yang kesana ke mari
menyebar luaskan fitnah.” (QS. Al Qalam: 10,11)Saya berwasiat kepada diri saya
juga ikhwah untuk melihat kembali setiap perkataan yang mungkin mempunyai
tujuan memecah belah persaudaraan sesama muslim untuk segera meninggalkannya
karena hal ini terkadang tidak disadari, serta bedakanlah antara keinginan
memperbaiki keadaan orang yang kita maksud dengan keinginan kita untuk
menyingkirkannya dari hadapan kita karena kita tidak suka terhadapnya.
2. hukum
ghibah (membicarakan kejelekan orang) didalam hati.
Bisikan hati itu tidak dianggap. Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits shahih:
تكلم أو
تعمل لم ما أنفسها به حدثت ما أمتي عن تجاوز الله إن
“Sesungguhnya Allah memaafkan ummatku yang
berbisik dalam jiwanya, selama belum dilakukan atau diucapkan.”Namun, jika
seseorang mengatakan sesuatu dalam hatinya tentang kejelekan si Fulan, atau
berkata dalam hati bahwa si Fulan itu pelit, Fulan itu buruk akhlaknya, atau di
Fulanah itu wanita pelit, yang dapat membuat hatinya sakit, jika ia tidak jadi
melakukannya karena Allah, ia diganjar pahala. Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam bersabda:“
عنها شغلاً
أو عنها غفلة تركها فإن , حسنة له الله كتبها
اللهأجل من تركها ثم بالسيئة لعبد هم إذا
عليه تكتب
لم
Jika seorang hamba bermaksud
melakukan sebuah kejelekan, lalu ia tidak jadi melakukannya karena Allah,
ganjaran pahala baginya. Jika ia melakukannya karena lalai atau tidak disadari
maka tidak berdosa.”Hanya bermaksud semata tidak diganjar dosa, karena hal
tersebut adalah perbuatan hati. Namun jika maksud tersebut dilakukan, Allah
mengganjar dosa baginya. Jika baru bermaksud lalu tidak dilakukan, tidak
berdosa. Kemudian jika ia tidak jadi melakukan kejelekan tersebut diniatkan
karena takut kepada Allah, ia diganjar pahala. Inilah karunia dari Allah
subhanahu wa ta’ala, juga merupakan bentuk kemurahan serta kemuliaan-Nya.
Ghibah adalah perbuatan yang dzalim dan
perbuatan dzalim tidak akan pernah dilupakan oleh Allah.
Allah
berfirman :
الظَّالِمُونَ يَعْمَلُ عَمَّا غَافِلًا اللَّهَ
تَحْسَبَنَّ وَلَا
“Janganlah sekali-kali kamu
mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang
zalim..” (QS. Ibrahim: 42)
Kedzaliman tidak akan pernah dilupakan
Allah, meskipun manusia begitu mudah melupakannya.Ketika di hari kiamat, akan
dilakukan hisab, dimana pahala orang yang mendzalimi akan diserahkan kepada
orang yang didzalimi, hingga kedzaliman itu habis.Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah menceritakan kondisi orang muflis (bangkrut).
وَيَأْتِي وَزَكَاةٍ وَصِيَامٍ بِصَلَاةٍ الْقِيَامَةِ يَوْمَيَأْتِي مَنْ أُمَّتِي مِنْ لْمُفْلِسَ مِإِنَّ فَقَالَ مَتَاعَ وَلَا لَهُ
دِرْهَمَ لَا مَنْ فِينَا الْمُفْلِسُ مَنِ أَتَدْرُونَ
حَسَنَاتُهُ فَنِيَتْ فَإِنْ حَسَنَاتِهِ مِنْ وَهَذَا حَسَنَاتِهِ مِنْ
هَذَا فَيُعْطَى هَذَا وَضَرَبَ هَذَا دَمَ وَسَفَكَ هَذَا مَالَ وَأَكَلَ هَذَا وَقَذَفَ
هَذَا شَتَمَ قَدْ
فِي طُرِحَ ثُمَّ عَلَيْهِ فَطُرِحَتْ خَطَايَاهُمْ
مِنْ أُخِذَ عَلَيْهِ مَا قْضَى أَنْ قَبْلَ
النَّارِ
“Tahukah kalian siapa muflis (orang yang
bangkrut) itu?”Para sahabat menjawab, ”Muflis (orang yang pailit) itu adalah
yang tidak mempunyai uang maupun harta benda.”Kemdian Nabi ﷺ
menjelaskan,“Muflis (orang yang bangkrut) dari umatku ialah, orang yang datang
pada hari Kiamat membawa (pahala) shalat, puasa dan zakat, namun (ketika di
dunia) dia telah mencaci dan (salah) menuduh orang lain, makan harta,
menumpahkan darah dan memukul orang lain (tanpa hak). Maka orang-orang itu akan
diberi pahala dari kebaikan-kebaikannya. Jika telah habis kebaikan-kebaikannya,
maka dosa-dosa mereka akan ditimpakan kepadanya, kemudian dia akan dilemparkan
ke dalam neraka” (HR. Muslim 6744 & Ahmad 8029).
Ghibah termasuk Kedzaliman Allah menyebut
ghibah dalam al-Quran sebagai perbuatan makan bangkai sesama muslim.Allah
berfirman,
فَكَرِهْتُمُوهُ
مَيْتًا أَخِيهِ لَحْمَ يَأْكُلَ أَنْ أَحَدُكُمْ أَيُحِبُّ بَعْضًا بَعْضُكُمْ يَغْتَبْ
وَلَا
“Janganlah menggunjingkan satu sama lain.
Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah
mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. (QS. al-Hujurat: 12) Karena
itu, para ulama memahami, kedzaliman ghibah akan berlanjut di akhirat. Dimana
orang yang dighibah akan diberi pahala dari orang yang meng-ghibahnya. Sehingga
ghibah mengurangi pahala seseorang. Sebaliknya, orang yang dighibah akan
semakin bertambah pahalanya.
3. Penyebab
terjadinya ghibah :
Penyebab terjadinya ghibah dapat
bervariasi, dan berikut adalah beberapa faktor yang dapat memicu praktik
ghibah:
1. Rasa iri dan dengki: Salah satu
penyebab utama munculnya ghibah adalah adanya perasaan iri terhadap orang lain
yang memiliki kelebihan atau prestasi yang tidak dimiliki oleh si pengghibah.
Dalam rangka meredam rasa iri, si pengghibah mulai menyebar gosip atau
membicarakan kejelekan orang tersebut atau keluarganya.
2. Persaingan dan menjilat: Dalam
lingkungan kerja, persaingan dapat menjadi penyebab ghibah. Seseorang yang suka
menjilat dan mencari muka teman-temannya cenderung menyelaraskan perkataannya
dengan mereka, bahkan jika itu berarti membicarakan orang lain secara negatif.
3. Awalnya sebagai bahan candaan:
Terkadang, ghibah dapat dimulai sebagai bahan candaan yang tidak pantas
terhadap seseorang. Namun, seiring berjalannya waktu, candaan tersebut dapat
berubah menjadi ghibah yang sebenarnya, meskipun awalnya hanya dimaksudkan
untuk menghibur atau mencairkan suasana.
4. Rasa dendam: Adanya rasa dendam
terhadap seseorang juga dapat menjadi penyebab munculnya ghibah. Seseorang yang
merasa benci terhadap orang lain dapat membicarakan kejelekan mereka sebagai
cara untuk melampiaskan dendam dan meredam rasa benci di dalam dirinya.
5. Rasa hasad (dengki): Rasa hasad
terhadap orang yang dipuji dan dicintai oleh banyak orang juga dapat menjadi
pendorong seseorang untuk melakukan ghibah. Dikarenakan rasa dengki, pemahaman
agama yang rendah, dan kendali akal yang lemah, seseorang dapat melakukan
ghibah untuk menghilangkan nikmat yang terdapat dalam diri orang yang
didengkinya.
Penting untuk diingat bahwa ghibah
adalah perbuatan yang dilarang dalam Islam dan dianggap sebagai dosa besar.
Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, kita perlu berhati-hati dan berusaha
menghindari praktik ghibah, serta membangun sikap saling menghormati dan
menjaga privasi orang lain
4. Konsekuensi
ghibah:
[1]
Perkataan Ulama Tabi’in Hasan al-Bashri,
جسده
في الأَكَلة من المؤمن دين في أسرعُ لَلغِيبةُ
والله
“Demi Allah, ghibah lebih cepat menggerogoti
agama seorang mukmin dibandingkan orang yang makan badannya.” (as-Shumt, Ibnu
Abi Dunya, hlm. 129)
[2] Keterangan Hasan al-Bashri,
Ada orang yang datang menemui Hasan
al-Bashri, lalu orang ini memberikan info, “Bahwa si A telah meng-ghibah anda.”
Lalu Hasan al-Bashri mengirim satu kotak kurma basah ke orang itu, beliau
mengatakan,
أكافئك
أن أقدر لا فإني ، فاعذرني ,عليه أكافئك أن
فأردتُ حسناتِك، إليَّ أهديتَ أنك بلغني
التمام عل بها
Saya dapat info bahwa anda telah
menghadiahkan pahalamu untukku. Maka saya ingin untuk membalasnya kepadamu.
Mohon maaf, saya tidak mampu memberikan balasan yang setimpal. (Tanbih
al-Ghafilin, 1/176)[3] Keterangan Fudhail bin IyadhAda orang yang mengatakan
kepada Fudhail, ‘Si A telah meng-ghibahku.’Lalu Fudhail bin Iyadh mengatakan,
[3] Keterangan Fudhail bin Iyadh
Ada orang yang mengatakan kepada Fudhail,
‘Si A telah meng-ghibahku.’Lalu Fudhail bin Iyadh mengatakan,
جلبًا
الخير لك جلب قد
Berarti
dia telah memberikan pahala untukmu. (Hilyah al-Auliya, 8/108)
[4] Keterangan Abdurrahman bin Mahdi, beliau
mengatakan,
Andaikan bukan karena benci maksiat
kepada Allah, (maka aku akan lakukan maksiat), dan sungguh aku ber-angan-angan
andaikan semua penduduk kota ini meng-ghibahku.
Tidak ada sesuatu yang lebih membahagiakan
melebihi orang yang melihat pahala yang tertulis di catatan amalnya, sementara
dia tidak pernah mengamalkannya.” (HR. al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 5/305)
[5]
Keterangan Abdullah bin Mubarak, beliau mengatakan
Andai saya boleh meng-ghibah orang lain,
tentu saya akan meng-ghibah kedua orang tuaku. Karena mereka yang paling berhak
untuk mendapatkan pahala dariku.
[6]
Keterangan Ibrahim bin Adham
Wahai manusia pembohong, kamu
sangat bakhil terhadap dunia sehingga tidak kamu kasihkan ke sesama muslim,
namun kalian begitu pemurah dalam memberikan pahala akhirat kalian kepada musuh
kalian. (Tanbih al-Ghafilin, 1/177). Yang beliau maksud adalah meng-ghibah
orang lain.
Kesimpulan
Ghibah dalam islam merupakan
perbuatan yang harus dihindari karena dapat menimbulkan ucapan-ucapan atau obrolan yang menjerumus dalam hal-hal
keburukan orang lain, jika perilaku ghibah tersebut dapat dihindari maka akan
menjadikan kedamaian dan ketentraman dalam hidup bermasyarakat.
Daftar
Pustaka
Dhulkifli,
M. L. (2019). Pro-Kontra Ghibah dalam Tinjauan Hadis dan Konteks
Maraknya
Perilaku Gosip. Al-Quds: Jurnal Studi Al-Quran dan Hadis ,
53-70.
Ilyas,
M. (2018). Ghibah Perspektif Sunnah . Al-Qadau: Jurnal Peradilan dan
Hukum
Keluarga Islam, 141-159.
Kauma, F. (2005). Bahaya Lisan . Jakarta: Qisthi Press.
sumber pdf : https://drive.google.com/file/d/16AHKpFjOkuAuwAVZ2w4ogdPFGN8I_xFU/view?usp=drivesdk
Tulis Komentar